“Konsepsi ilmu budaya dasar dalam kesusastraan”
Ilmu budaya dasar itu sendiri merupakan pengetahuan tentang perilaku dasar-dasar dari manusia, yang mempelajari konsep – konsep dasar mengenai permasalahan manusia dan kebudayaan. Sedangkan kesusastraan itu sendiri yaitu sebuah hasil dari kreativitas manusia yang diekspresikan melalui sebuah tulisan, gerakan, gambar ataupun bahasa yang memiliki suatu nilai keindahan. Dari pengertian tersebut, kita mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang konsepsi ilmu budaya dasar dalam kesusastraan. Ilmu Budaya Dasar yang akan kita bahas pada kali ini berkaitan dengan budaya yang ada dalam keseharian dan budaya bangsa. Hal ini tentunya sangat baik jika kita pelajar, karna kita akan mendapatkan ciri dari manusia yang baik dalam bermasyarakat. Dari semua itu intinya adalah mempelajari masalah manusia dan kebudayaan. Contohnya saja dalam bidang kesenian, seni adalah suatu ekspresi dari jiwa manusia. Segala kebebasan hasil karya dari manusia bebas dituangkan dalam ekspresi seni. Seni lebih berbicara banyak dalam kebudayaan, bahkan budaya dapat menggambarkan ciri dari suatu bangsa yang bermartabat. Maka dapat kita simpulkan bahwa hubungan antara konsep ilmu budaya dasar dan kesusastraan adalah suatu hal yang tidak dipisahkan satu sama lain. Karena sebenarnya sastra (seni) termasuk unsur dari kebudayaan. Contoh lainnya yaitu bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun bahasa sastra sebenarnya abstrak. Contohnya saja seni tari yang menggunakan bahasa tubuh yang masih perlu dijabarkan.
“Karya sastra Indonesia sulit menembus pasar luar negeri terutama Amerika Serikat dan Eropa.” Ini sepertinya, pertanda bahwa sastrawan Indonesia harus berbenah. Sastrawan Indonesia ke depan harus meningkatkan mutu. Sehingga kualitas karya betul-betul mumpuni dan dilirik pasar internasional yang memang super ketat. Novel-novel penulis Indonesia selayaknya sudah ada di rak-rak took buku di Amerika. Bukankah persoalan kemajemukan dan keberagaman masyarakat Indonesia menjadi santapan yang sangat menarik bagi pembaca-pembaca asing. Berbenah untuk terus meningkatkan kualitas produk serta tidak berpuas diri dengan pencapaian-pencapaian yang didapat. Apalagi kalau terlalu sibuk dengan menarsiskan diri. Berbenah untuk tidak malas menambah referensi-referensi bacaan terutama bacaan dari luar. Berbenah untuk bangkit dan menjajal pasar-pasar luar negeri. Ketidakmampuan karya-karya sastrawan Indonesia bersaing di pasar luar negeri tidak hanya persoalan mutu produk, namun juga belum adanya dukungan kemampuan penerjemah yang bagus. Tetapi, logikanya jika sebuah karya sudah dinilai bagus bahkan sangat bagus, bukankah penerjemah-penerjemah bermutu akan berburu untuk menerjemahkannya? Itu adalah persoalan sastra Indonesia secara umum? Tentu kita tidak boleh berpuas diri hanya sampai di situ. Pertanyaannya, adakah jaminan mereka akan terus berkarya? Terus eksis dalam menulis sastra? Hal tersebutlah yang seharusnya perlu dicemaskan. Eksistensi dan peningkatan diri. Tidak hanya berpuas dengan pencapaian, terlalu tinggi memandang diri sendiri, sehingga jatuh ke lembah kesombongan.
Saya menawarkan dua buah konsep. Pertama, adanya sebuah lembaga kursus sastra yang bersifat bisnis. Kalau lembaga pendidikan seperti Primagama, GAMA, atau yang lainnya mengajarkan tentang berbagai ilmu dan mata pelajaran, bagaimana kalau didirikan sebuah lembaga kursus yang khusus mengajarkan tentang sastra. Sebuah lembaga yang mengajarkan cara menulis puisi, menulis cerpen, atau menulis novel. Jika lembaga kursus seperti Matematika, Fisika, Biologi, bahasa Inggris bisa sangat laku mengapa lembaga kursus tentang sastra tidak diminati. Padahal kalau dikaji, dengan menulis puisi atau cerpen di koran tentu akan bisa mendatangkan keuntungan secara finansial. Untuk ukuran koran Kompas misalnya, satu cerpen dihargai satu juta rupiah. Bukankah bisnis seperti ini juga sangat menguntungkan? Sementara lembaga kursus Matematika, Fisika, bahasa Inggris dan lainnya itu lebih mengedepankan keilmuannya. Inilah yang menjadi dilema yang patut dipikirkan. Konsep kedua, jika lembaga kursus sastra yang bersifat profit atau mengejar keuntungan masih dianggap belum akan sanggup menandingi lembaga lainnya, didirikanlah sebuah lembaga non profit yang lebih mengedepankan gerakan sosial. Artinya, siswa tidak perlu membayar tetapi tetap diajar. Akan tetapi, walaupun bersifat gratis, keseriusan harus diutamakan. Saya membayangkan sebuah sekolah informal yang mendidik siswanya menulis dari tingkatan dasar sampai tingatan akhir. Katakanlah untuk tingkatan dasar cukup belajar merangkai ide, memulai menulis cerita yang singkat-singkat, menulis pengalaman pribadi seperti layaknya diari, kemudian menulis cerpen atau puisi, tingkatan paling akhir adalah menulis novel atau naskah skenario (drama dan film). Mungkinkah itu dilakukan? Jawabnya tentu mungkin saja akan tetapi jelas membutuhkan keseriusan dan persiapan yang matang. Siapa siswanya, di mana tempatnya, bagaimana metodenya, siapa pengajarnya, dan yang paling penting dari mana dananya. Tanpa adanya keseriusan semua itu tidak akan bisa terwujud. Tanpa dana tidak akan bisa berbuat apa-apa. Soal pendanaan tentu bisa dipikirkan lebih jauh lagi. Mendirikan sekolah sastra penting dilakukan mengingat kebanyakan sastrawan-sastrawan muda yang muncul dari Sumatra Barat menulis dengan cara otodidak, belajar sendiri, membaca buku sendiri dan menulis sendiri. Beberapa dari mereka ada juga yang aktif membentuk forum diskusi dengan beberapa orang. Sistem seperti ini mempunyai kelemahan, penulis yang sudah terlanjur bermunculan akan hilang satu per satu. Hanya yang berkeinginan kuat yang bertahan. Padahal persoalannya adalah dalam hal pembinaan. Mereka harus dibina secara serius. Itu persoalan konsep sekolah dan siswa. Lalu bagaimana dengan instruktur atau pengajar. Untuk persoalan instruktur, di sinilah dibutuhkan peranan sastrawan tua. Sastrawan tua harus punya tanggung jawab moral untuk membina sastrawan-sastrawan muda. Membina secara sistematis dan disiplin yang tinggi. Kalau melirik pendidikan sastra di sekolah sekarang ini memang sangat memprihatinkan. Pelajaran sastra hanya diselipkan ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran sastra sangat jauh kalah bersaing dengan mata pelajaran eksakta seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi atau yang lainnya. Sehingga, bagi sebagian kepala sekolah, jika ada undangan tentang pelatihan sastra atau perlombaan sastra sering diabaikan. Akan tetapi jika ada lomba sains misalnya, peminatnya akan sangat tinggi dan pihak sekolah akan memberi perhatian yang besar. Sementara itu, pelatihan-pelatihan penulisan cerpen, puisi, yang hanya dalam porsi waktu sehari atau dua hari belum begitu ampuh untuk menciptakan sastrawan handal. Pelatihan-pelatihan tersebut baru hanya sekadar stimulus untuk membangkitkan keinginan menulis. Dibutuhkan pelatihan serius berbulan-bulan jika ingin mendapatkan hasil yang baik. Katakanlah dari 20 orang siswa, kemudian muncul 5 orang yang betul-betul bernas. Kemudian ke persoalan pendanaan? Jika konsep sudah jelas, sponsor-sponsor perlu dicarikan, misalnya dari Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan, perusahaan-perusahaan besar, atau dari lembaga mana saja yang memang berkepentingan dengan peningkatan sastra. Kalau lembaga-lembaga kursus komputer, kursus bahasa Inggris, kursus Matematika bisa sangat diminati, mengapa lembaga kursus sastra tidak? Bukankah sastra itu juga penting dan bisa menghasilkan uang? Karya sastra adalah sarana pembelajaran tentang kehidupan yang beragam. “Karya sastra bisa memperkaya cara pandang seseorang tentang keberagaman bagi pembacanya.”
Penulis adalah pemerhati sastra